Di sebelah Gareth berdirilah putri kedua MacGil, Gwendolyn, yang baru berusia enam belas tahun. Ia adalah gadis tercantik yang pernah lihat – dan tindak tanduknya turut menyinari kecantikannya. Ia ramah, dermawan, jujur – perempuan sejati yang pernah ia kenal. Dalam hal ini Gwendolyn mirip dengan Kendrick. Saat itu ia menatap MacGil dengan rasa cinta seorang putri pada ayahnya, dan ia merasakan kesetiaan putrinya pada setiap tatapan matanya. MacGil bahkan lebih bangga kepadanya dibandingkan para putranya.
Berdiri di sebelah Gwendolyn adalah putra termuda MacGil, Reece, seorang anak laki-laki yang kuat dan bersemangat, yang sedang memulai hidup sebagai lelaki. MacGil merasa senang mengetahui keinginannya bergabung dengan Legiun, dan dapat melihat akan menjadi lelaki macam apa ia di masa depan. Suatu hari, MacGil tak ragu lagi bahwa Reece akan menjadi putra terbaiknya, dan pemimpin yang hebat. Namun tidak untuk saat ini. Reece masih terlalu muda dan perlu belajar banyak hal.
MacGil merasakan gejolak ketika ia memandangi anak-anaknya satu per satu, tiga putra dan satu putrinya berdiri di depannya. Ia merasa bangga sekaligus kecewa. Putri tertuanya, Luanda, sedang bersiap-siap untuk pernikahannya. Dan karena ia menikah dengan seseorang dari kerajaan lain, maka ia tidak berhak ikut serta dalam perbincangan mengenai pewaris tahta. Sedangkan putranya yang lain, Godfrey, putra ketiga yang berusia delapan belas tahun, tidak hadir. MacGil merasa terhina karenanya.
Sejak ia masih bocah, Godfrey telah menunjukkan sikap tidak hormat kepada Sang Raja. Dan telah jelas bahwa ia tidak peduli dengan hal itu dan tidak akan pernah menjadi Raja. Kekecewaan terbesar MacGil adalah Godfrey lebih memilih menghabiskan hari-harinya di kedai bir bersama teman-teman bajingannya, menyulut aib dan membuat malu keluarga kerajaan. MacGil merasa lega ia tak ada saat ini, sekaligus merasakan kehinaan yang tak pernah dideritanya. Ia telah menduga bahwa Godfrey tak akan datang, sehingga ia mengirim orang-orangnya untuk menyisir setiap kedai bir dan membawa Godfrey pulang. MacGil duduk tanpa mengucapkan sepatah kata, menunggu hingga mereka datang.
Pintu ek berat akhirnya mendadak terbuka dan berbaris masuklah pengawal kerajaan sambil menyeret Godfrey. Para pengawal mendorongnya, dan Godfrey masuk tersaruk-saruk ke dalam ruangan ketika mereka menutup pintu di belakangnya.
Para saudara dan saudarinya membalikkan tubuh dan menatapnya. Godfrey tampak dekil, berbau bir, tak bercukur dan setengah telanjang. Ia tersenyum kejam, seperti yang biasa ia lakukan.
“Halo, Ayah,” kata Godfrey. “ Apa aku melewatkan sesuatu?”
“Berdirilah bersama saudara-saudaramu dan dengarkan aku bicara. Jika tidak, demi Tuhan, aku akan merantaimu di ruang bawah tanah bersama para tahanan, dan kau tak akan mendapat makanan – apalagi bir – selama tiga hari.”
Si pembangkang membelalakkan mata ke arah ayahnya. Di sana MacGil menangkap sebuah kekuatan terpendam, sesuatu yang hanya dimilikinya sendiri, sebuah cahaya yang mungkin dapat membuat Godfrey bernasib baik. Itu pun jika Godfrey dapat memperbaiki tingkah lakunya sendiri.
Godfrey si penentang diam sesaat sebelum akhirnya patuh dan berjalan sempoyongan ke arah saudara-saudaranya.
MacGil memandangi kelima anaknya yang berdiri di depannya: anak haram, orang aneh, pemabuk, anak perempuan dan si bungsu. Sebuah paduan yang janggal, dan ia nyaris tak percaya bahwa mereka semua adalah anaknya. Dan kini, di hari pernikahan putri sulungnya, ia wajib memilih seorang pewaris tahta dari mereka. Mungkinkah?
Tugas itu sepertinya sia-sia; karena ia sedang berada dalam masa kejayaannya dan sanggup memerintah sampai tiga puluh tahun mendatang. Siapapun yang ia pilih hari ini mungkin tak akan segera naik takhta hingga berpuluh tahun. Sebuah tradisi yang tak disukainya. Tradisi itu mungkin sesuai di masa pemerintahan mendiang ayah dan para pendahulunya, namun tak berlaku untuk saat ini.
Sang Raja berdehem.
“Hari ini kita berkumpul demi meneruskan tradisi. Seperti yang kalian ketahui, di hari ini, di hari pernikahan putri sulungku, tiba saatnya bagiku untuk mengumumkan nama penerus tahta. Seseorang yang mewarisi hak untuk memerintah kerajaan ini. Jika aku tiada, tak ada yang lebih baik memerintah daripada ibu kalian. Tapi kerajaan kita menyebutkan bahwa hanya seorang raja yang berhak memerintah. Jadi, aku harus memilih.”
MacGil menarik nafasnya dan berpikir. Sebuah keheningan luar biasa menggantung di udara, dan ia dapat merasakan sebuah beban berat untuk mengantisipasi reaksi anak-anaknya. Mata si orang aneh berpendar penuh ambisi, seperti berharap ayahnya akan memilih dirinya. Si pemabuk menatap ke arah jendela, ia tak peduli. Putrinya memandangnya dengan penuh kasih sayang, tahu bahwa ia bukanlah bagian dari pembicaraan ini, meski demikian ia tetap mencintai ayahnya. Demikian halnya dengan si bungsu.
“Kendrick, aku selalu menganggapmu sebagai putraku. Namun peraturan kerajaan melarangku memberikan tahta kerajaan kepada siapapun yang tak memiliki garis keturunan yang sah.”
Kendrick membungkuk. “Ayah, aku tak mengharap Ayah melakukan itu. Aku sadar dengan posisiku. Kumohon jangan biarkan hal ini mengganggu Ayah.”
MacGil merasa terluka dengan tanggapan Kendrick, sesuatu yang menunjukkan kesungguhan hatinya dan MacGil semakin ingin menunjuknya sebagai pewaris tahta.
“Jadi tinggal kalian berempat. Reece, kau lelaki muda sejati, terbaik dari yang pernah kulihat. Tapi usiamu masih terlalu muda.”
“Aku sudah tahu, Ayah,” jawab Reece dengan sedikit membungkuk.
“Godfrey, kau adalah salah satu dari tiga putra sahku – tapi kau memilih membuang hari-harimu di kedai bir, bersama kaum sampah. Kau memiliki semua yang terbaik dalam hidup, dan telah menyia-nyiakannya. Kekecewaan terbesar dalam hidupku adalah kau.”
Godfrey menyeringai, sikapnya gelisah.
“Baiklah, kukira aku sudah selesai di sini. Dan aku sebaiknya kembali ke kedai bir, bukankah demikian Ayah?”
Setelah membungkukkan badan dengan cepat dan mencibir, Godfrey membalikkan tubuhnya dan berjalan angkuh menyeberangi ruangan.
“Kembali ke sini!” seru MacGil. “ SEKARANG!”
Godfrey terus berjalan, mengacuhkan ayahnya. Ia meninggalkan ruangan dan mendorong pintu hingga terbuka. Dua pengawal berdiri di sana.
MacGil terbakar amarah ketika para pengawal memandangnya dengan penuh tanya.
Namun Godfrey tak menghentikan langkahnya; ia terus berjalan melewati mereka ke ruangan terbuka.
“Tangkap dia!” seru MacGil. “ Dan jauhkan dia dari Ratu. Aku tak mau ibunya merasa terluka karena melihatnya di hari pernikahan putrinya.”
“Ya, Tuanku,” ujar para pengawal. Mereka menutup pintu kemudian mengejar Godfrey.
MacGil duduk di singgasananya, menghela nafas panjang, dengan wajah memerah mencoba menenangkan diri. Untuk ke seribu kalinya ia bertanya-tanya, apa yang telah ia lakukan sehingga anaknya berkelakuan seperti itu.
Ia menatap keempat anaknya yang tersisa. Keempatnya balas memandangnya, menunggu dalam kesunyian. MacGil menghela nafas sekali lagi, berusaha memusatkan perhatian.
“Tinggal kalian berdua,” lanjutnya. “Dan dari kalian aku memilih seorang pewaris.”
MacGil menatap putrinya.
“Itu adalah kau, Gwendolyn.”
Semua di ruangan itu tersentak; keempat anaknya tampak terkejut, terutama Gwendolyn.
“Apa Ayah tidak salah?” tanya Gareth. “ Ayah bilang Gwendolyn?”